6.19.2012

Pulang




Gelap itu, mengapa harus hitam? Bukan biru, atau ungu saja. Malam itu gelap. Saya tidak bisa melihatmu. Tapi jari-jarimu ada di kepala saya. Menyisir seperti mencari kutu rambut. Tiba-tiba saya takut. Takut bangun. Karena setelah itu.. pagi akan mengusirmu. Memberi jarak antara saya dan kamu. 

Andai saja biru. Sehingga saya bisa ikut denganmu, pulang. Karena bukan disini tempat saya. Bukan mereka yang saya cinta.

Tuhan, ke'hatinya saya ingin pulang...

6.18.2012

Tentang Aku dan Rein; Singkat, tapi Berarti



Aku gelisah menatap jarum jam ditangan kiri.  Langit yang tadi cerah sudah berubah jingga. Sementara Rein masih asyik menatap langit. Bersandar pada batang pohon karet rindang, ditaman kota.

“Aku betah berlama-lama denganmu disini” Kata Rein. Perempuan yang menjadi pacarku sejak tujuh tahun kebelakang. “Iya. Sayang waktu kita tidak lebih dari beberapa jam. Dan. ini sudah hampir malam.” Tegasku. Dan lagi, aku mengangkat tangan kiri ke depan mata.
“Dua-tiga jam dalam seminggu, bukan sehari.” Keluhnya. Sambil menghembuskan napas sesal atau mungkin kesal. “Kadang dua-tiga jam untuk sebulan.” Lanjutnya, tanpa memperdulikan pernyataanku yang sudah ingin buru-buru pulang.

Intensias pertemuan kami otomatis menurun sejak aku dan dia disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Aku yang baru pertama mendapat tawaran bekerja, lantas langsung menerima walau harus ditugaskan di Bogor.

Ternyata, tidak bagi Rein. Kesibukan tidak serta-merta membuatnya menyerah. Kadang aku tidak mengerti arah pikirannya. Ia ingin pertemuan kami tidak berubah. Tetap sama, seperti saat kami masih satu kelas saat kuliah dulu. Bertemu hampir setiap hari. Padahal bukan hanya waktu yang berubah. Manusia, juga harus berubah seiring berjalannya waktu. Bandung-Bogor bukan jarak yang bisa ditempuh setiap hari. Pulang-pergi.

Aku menyayangi Rein, sangat. Rambutnya panjang, hitam manis. Ada lesung pipit saat dia tersenyum. Oh dia agak gemuk sekarang. Tapi aku tetap jatuh cinta. Satu hari dalam seminggu, aku sempatkan bertemu dengannya. Meski pekerjaanku seabreg. Walau hari minggu adalah satu-satunya waktuku untuk istirat. Untunglah, melihat wajah Rein saja sudah lebih dari istirahat bagiku. Semua penat melebur, meleleh begitu saja.

“Rein, mengapa kamu betah berlama-lama denganku? Aku belum mandi tadi pagi lho.” Kataku tidak benar dan berlebihan. Padahal badanku masih beraroma Burberry italian parfume. Rein membelalak, dan tertawa, lalu dia diam. Entah apa yang sedang dia lihat. Padangannya jauh, lurus ke depan.

“Saat bersamamu, dunia mendadak sempit. Hanya ada aku dan kamu. Tidak ada yang lain. Bahkan aku sendiri lupa, aku makan apa pagi tadi?” Aku ingin menjawab ‘Jadi kamu anggap apa orang-orang yang dari tadi lalu-lalang?’ tapi aku tahan. Lebih baik diam. “Sampai-sampai, aku lupa pulang. Aku baru mau pulang saat kau mulai ngomel-ngomel. Membuatku merasa bersalah menyuruhmu datang jauh-jauh ke Bandung” Lanjutnya lirih. 

Spontan, aku merasa.. terkadang aku tidak lebih dari seorang mandor bukan kekasihnya. Yang penting, tau beres. Tanpa mau tau, sesusah dan seperti apa usaha Rein mempertahankan hubungan kami. 

“Sebetulnya, bukan pertemuan yang sesering mungkin, Bob” Kata Rein, seolah baru membaca apa yang baru aku pikirkan. Oh ya, namaku Raka. Gara-gara dulu, model rambutku berponi didepan, Rein memanggilku ‘Bob’. Sampai sekarang.
“Singkat, tapi berarti.” Rein melanjutkan kalimatnya.

"Pertemuan yang memakaikan sweater pada tubuh yang dingin. Pertemuan yang menyalakan api diatas lilin, diantara gulita. Pertemuan yang meneteskan obat merah pada luka." Rein menatapku penuh haru. Dulu sekali, dia pernah berkata demikian saat aku hendak pergi. "You're still remember." Senyumnya merekah.

“We always will be.” Sambutku. Tidak terdengar seperti janji. Tapi itu harapan. Atau aku bisa menyebutnya do’a. Siapa tau diamin’ni oleh malaikat yang kebetulan lewat.

6.17.2012

Dalam; Ruang Kosong Tanpa Nama


Tanggal berapa sekarang???

Tidak berhenti kau mengecek kalender tiap harinya. Padahal kau tau hari ini, besok, bukanlah tanggal 23. Masih jauh. Melihat angka-angka..meski sudah tau jawabanya hanya sebatas pemuas. Hanya sebuah harapan yang ganjil, agar tiba-tiba kau dikejutkan dengan kehadiran seseorang. Menunggu memang akan terasa lebih lama jika dibanding dengan membiarkannya mengalir begitu saja. 
Waktu sepertinya senang meledek mereka yang mematung pada detik jam. Kau, rela membatu untuk itu.

Sesungguhnya kamu tidak merindukan siapa-siapa. Juga dia. Kau hanya tidak ingin sendirian. Entah... apa yang kau takutkan?

Hingga saat itu tiba, kau baru sadar dia tidak akan pernah datang. Kecewa, tapi kuat.
‘Aku sering ditikam cinta. Panahnya melesat cepat, menusuk. Merajam seperti batu. Tapi aku tetap berdiri’

‘Cinta’ itu bukan apa-apa. Hanya sebatas pengisi. Hal asing yang mengisi ruang kosong tanpa nama jauh didalam hati. ‘Cinta’. Kenisbian yang dimutlak-mutlakkan. Yang diharus-haruskan.
Sampai kau percaya, ‘Cinta’ lebih sering menghadirkan lara dan marra. 

Lalu kau pergi ke gunung...

‘Menjerit dan menangis selagi aku bisa.’


Kemudian kau lari ke pantai...

‘Hanya aku, pasir dan ombak.’


5.16.2012

Oretan Terakhir


Aku tidak bisa tidur.

Dalam album kusam, kutemukan oretan terakhir kakak.
Membawaku tidur pulas dalam dekapan ibunya.




Lima hari yang lalu





Lima hari yang lalu, dia masih disini.

Kamarnya sekarang sepi. 
Tak ada canda tawa lagi, tak ada suara musik, 
tak ada hiruk pikuk kehidupan menghiasi setiap sudut ruangan.

4.23.2012

Kubiarkan Nurani Bicara




Biar kuceritakan sedikit rahasia ini.

Mungkin aku buta karena tak mampu melihat arah tujuanku sendiri. Mungkin aku bisu karena tak mampu bertanya arah mana yang harus aku lalui. Mungkin aku lumpuh karena tidak mampu tegas atas diriku sendiri.

Tapi aku tidak tuli, karena aku masih mendengar kemana nuraniku memanggil. Dan hatiku. Ia tidak buta. Tidak bisu. Tidak tuli. Dan tidak lumpuh. Hatiku tahu kemana aku harus melangkah. Akan kuikuti saja dia. Lagipula aku tidak mungkin menyesatkan diriku sendiri. Sesungguhnya hati tahu mana baik dan buruk. Benar dan salah. Berbeda dengan pikiran. Bisa memutar otak. Membuat baik menjadi buruk. Dan membuat salah menjadi benar.

Aku sedang diperdaya diriku sendiri. Aku merasakannya. Pernah menyesal? Ya, seperti itulah. Tapi tidak lama penyesalan itu akan hilang. Lalu aku berbuat salah lagi. Lagi dan lagi. Seolah yang aku lakukan adalah baik dan benar.

Hidup memang tentang bagaimana memutar otak supaya kita survive. Tapi memberi sedikit waktu untuk mendengarkan hati dan nurani bicara adalah sebuah keharusan, terutama bagi diriku sendiri. Jika aku bertanya, maka ia menjawab. Dan aku akan puas. Hati dan nurani itu seperti wakil Tuhan (Allah swt) yang ke-sekian.

4.21.2012

A little expectation



I dream of rain
I dream of place
I dream of we were there
I dream the love promises
I wake, with a prey in my  head
looking for the oportunity to catch you

I dream of writing a tale by a feather pen
And it must be happy ending
I wake, I found many mines in my bed
Waved on one’s hand

I dream of our spirit flying away
walking in a down town
I wake, And I knew
I just dream
It was like a dream
No one ever tortured me more than this