Aku gelisah menatap jarum jam ditangan kiri. Langit yang tadi cerah sudah berubah jingga. Sementara Rein masih asyik menatap langit. Bersandar pada batang pohon karet rindang, ditaman kota.
“Aku betah berlama-lama denganmu disini” Kata Rein. Perempuan yang menjadi pacarku sejak tujuh tahun kebelakang. “Iya. Sayang waktu kita tidak lebih dari beberapa jam. Dan. ini sudah hampir malam.” Tegasku. Dan lagi, aku mengangkat tangan kiri ke depan mata.
“Dua-tiga jam dalam seminggu, bukan sehari.” Keluhnya. Sambil menghembuskan napas sesal atau mungkin kesal. “Kadang dua-tiga jam untuk sebulan.” Lanjutnya, tanpa memperdulikan pernyataanku yang sudah ingin buru-buru pulang.
Intensias pertemuan kami otomatis menurun sejak aku dan dia disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Aku yang baru pertama mendapat tawaran bekerja, lantas langsung menerima walau harus ditugaskan di Bogor.
Ternyata, tidak bagi Rein. Kesibukan tidak serta-merta membuatnya menyerah. Kadang aku tidak mengerti arah pikirannya. Ia ingin pertemuan kami tidak berubah. Tetap sama, seperti saat kami masih satu kelas saat kuliah dulu. Bertemu hampir setiap hari. Padahal bukan hanya waktu yang berubah. Manusia, juga harus berubah seiring berjalannya waktu. Bandung-Bogor bukan jarak yang bisa ditempuh setiap hari. Pulang-pergi.
Aku menyayangi Rein, sangat. Rambutnya panjang, hitam manis. Ada lesung pipit saat dia tersenyum. Oh dia agak gemuk sekarang. Tapi aku tetap jatuh cinta. Satu hari dalam seminggu, aku sempatkan bertemu dengannya. Meski pekerjaanku seabreg. Walau hari minggu adalah satu-satunya waktuku untuk istirat. Untunglah, melihat wajah Rein saja sudah lebih dari istirahat bagiku. Semua penat melebur, meleleh begitu saja.
“Rein, mengapa kamu betah berlama-lama denganku? Aku belum mandi tadi pagi lho.” Kataku tidak benar dan berlebihan. Padahal badanku masih beraroma Burberry italian parfume. Rein membelalak, dan tertawa, lalu dia diam. Entah apa yang sedang dia lihat. Padangannya jauh, lurus ke depan.
“Saat bersamamu, dunia mendadak sempit. Hanya ada aku dan kamu. Tidak ada yang lain. Bahkan aku sendiri lupa, aku makan apa pagi tadi?” Aku ingin menjawab ‘Jadi kamu anggap apa orang-orang yang dari tadi lalu-lalang?’ tapi aku tahan. Lebih baik diam. “Sampai-sampai, aku lupa pulang. Aku baru mau pulang saat kau mulai ngomel-ngomel. Membuatku merasa bersalah menyuruhmu datang jauh-jauh ke Bandung” Lanjutnya lirih.
Spontan, aku merasa.. terkadang aku tidak lebih dari seorang mandor bukan kekasihnya. Yang penting, tau beres. Tanpa mau tau, sesusah dan seperti apa usaha Rein mempertahankan hubungan kami.
“Sebetulnya, bukan pertemuan yang sesering mungkin, Bob” Kata Rein, seolah baru membaca apa yang baru aku pikirkan. Oh ya, namaku Raka. Gara-gara dulu, model rambutku berponi didepan, Rein memanggilku ‘Bob’. Sampai sekarang.
“Singkat, tapi berarti.” Rein melanjutkan kalimatnya.
"Pertemuan yang memakaikan sweater pada tubuh yang dingin. Pertemuan yang menyalakan api diatas lilin, diantara gulita. Pertemuan yang meneteskan obat merah pada luka." Rein menatapku penuh haru. Dulu sekali, dia pernah berkata demikian saat aku hendak pergi. "You're still remember." Senyumnya merekah.
“We always will be.” Sambutku. Tidak terdengar seperti janji. Tapi itu harapan. Atau aku bisa menyebutnya do’a. Siapa tau diamin’ni oleh malaikat yang kebetulan lewat.