2.21.2012

Kiat-Kiat Menulis yang Menjadikan Seseorang Dapat Menulis dengan Rasa Percaya Diri yang Sangat Tinggi


Oleh Hernowo
Menulis bisa sangat mudah dan bisa sangat sulit. Menulis—menulis apa pun—menjadi sangat mudah apabila seseorang, yang berniat menuliskan sesuatu itu, mengawali kegiatan menulisnya dengan cara menulis yang ditujukan kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Namun, menulis dapat tiba-tiba berubah menjadi monster yang sangat menakutkan alias sulit sekali dilakukan apabila, sebelum mengawali menulis, seseorang sudah memikirkan terlebih dahulu hal-hal yang berada di luar kendalinya—misalnya, bagaimana menemukan judul yang ”menggigit”, membuat pembuka yang menarik, atau memiliki argumentasi yang meyakinkan dan sangat kokoh.

Membuat judul yang baik, membuka tulisan dengan sesuatu yang menarik perhatian, atau memiliki referensi yang kokoh adalah penting. Namun, semua itu dapat dipikirkan dan ditemukan bukan di awal kegiatan menulis. Sebaiknya, itu dipikirkan setelah dia selesai mengeluarklan (menuliskan) bahan-bahan mentah yang ingin dijadikan sebuah tulisan—apakah itu berupa karya ilmiah, artikel opini, atau sebuah buku. Tak sedikit orang yang telah memiliki bahan yang baik dan juga potensi menulis yang lumayan, ujung-ujungnya, setelah kepayahan menulis, menjadi berhenti total menulis gara-gara tidak langsung dapat menuliskan (menemukan) sesuatu yang membuat dirinya percaya diri.

Dalam tulisan ini, saya ingin menunjukkan kepada Anda beberapa hal penting terkait dengan kegiatan menulis (menulis apa pun) dan bagaimana menghasilkan tulisan yang membuat diri sangat percaya diri. Saya berharap, gagasan saya ini dapat membantu Anda untuk menjadi mudah dalam menjalani kegiatan menulis dan, pada akhirnya, Anda juga dapat menghasilkan tulisan yang benar-benar dapat mencerminkan diri Anda. Materi tulisan ini, terutama, memang, saya tujukan untuk membuat diri Anda dapat menulis dengan penuh percaya diri. Tak berhenti di situ, saya berharap juga, nantinya, materi ini dapat membantu Anda dalam memanfaatkan kegiatan menulis untuk pengembangan diri.

Ada tiga materi yang akan saya sampaikan: Pertama, materi yang berkaitan dengan ”writer’s block” atau kebuntuan yang sering dialami oleh seorang penulis, baik penulis pemula maupun profesional; kedua, tentang ”kotak peralatan” (tool box)-menulis yang dapat Anda miliki dan manfaatkan untuk mengatasi kebuntuan atau kemacetan menulis yang tiba-tiba; dan ketiga tentang teknik menulis yang digagas dan dikembangkan oleh Natalie Goldberg (dalam bukunya Writing Down the Bones: Freeing the Writer Within), Peter Elbow (Writing without Teachers), dan James W. Pennebaker (Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions).

Tentang ”Writer’s Block”
Tentu, kita semua—yang pernah merasakan bagaimana repotnya menulis—memahami bahwa ada banyak sekali faktor yang membuat seseorang mengalami kemacetan atau kebuntuan menulis. Bagi saya, faktor-faktor itu dapat dikategorikan menjadi dua: teknis dan nonteknis. Problem-problem menulis yang bersifat teknis biasanya dapat dipecahkan dengan teknik-teknik menulis. Beberapa contoh: Jika seseorang tidak berhasil menemukan judul yang baik, dia dapat mendaftar pelbagai kombinasi kata yang memberikan arti baru dan berbeda terkait dengan materi inti atau gagasan yang ditulisnya. Lantas, jika seseorang tidak dapat menuliskan apa pun (blank) di layar komputernya—ketika ingin mengawali menulis—dia dapat, misalnya, menggunakan teknik ”free writing” (menulis bebas).

Berbeda dengan problem-problem teknis, problem nonteknis lebih rumit untuk dipahami dan diatasi karena sifatnya yang, kadang, tidak jelas (tidak mudah dipahami). Sebagai contoh sederhana, terkait dengan problem nonteknis, adalah: Bagaimana kita dapat merasa nyaman dan percaya diri ketika menuliskan sesuatu? Bagaimana pula kita dapat menemukan gagasan yang dahsyat? Dan bagaimana agar, selama menuliskan materi, kita dapat menjadikan gagasan awal itu berkembang sedikit demi sedikit dan akhirnya mencapai puncak? Contoh lain adalah terkait dengan bagaimana kita membangkitkan gairah dan semangat untuk mencicil menulis. Menulis tidak dapat sekali jadi. Jika menulis dipaksakan dan harus segera jadi, yang muncul adalah siksaan dan rasa frustrasi. Nah, bagaimana mengatasi pelbagai problem nonteknis menulis ini merupakan sesuatu yang sangat berbeda dengan yang bersifat teknis.

Berikut adalah daftar sebagian kecil ”writer’s block” yang terkait dengan problem nonteknis menulis:
1. Ketakutan mengeluarkan sesuatu yang “original” secara sangat bebas
2. Kebingungan menentukan materi yang ingin dikeluarkan
3. Ketidakpercayaan diri atas apa yang akan, sedang, dan telah dikeluarkan
4. Kemacetan dalam mengeluarkan sesuatu yang tidak dapat dipahami
5. Ketiadaan kreativitas—blank, buntu, gelap—yang memberikan tekanan

Di bawah ini adalah cara mengatasinya:
1. Tulis, tulis, tulis apa saja
2. Tidak ada yang sempurna di awal
3. Pembiasaan menulis secara kontinu dan konsisten
4. “Buang” saja yang membuat macet (Elbow dan Pennebaker)
5. Ubah perspektif dalam memandang sesuatu

Dapat merumuskan dan kemudian memahami ”writer’s block”—tanpa harus segera memecahkannya—sesungguhnya sudah sangat menguntungkan bagi seorang penulis. Setidaknya, dia dapat tidak memaksakan diri untuk terus menulis. Dia kemudian sadar bahwa menulis memang tidak bisa sekali jadi. Menulis perlu dicicil dan dikembangkan secara perlahan-lahan dan hati-hati. Terburu-buru atau tergesa-gesa menyelesaikan sebuah tulisan akan menghalanginya untuk menghasilkan tulisan yang baik—tulisan yang dapat membuat dirinya sangat percaya diri.

”Kotak Peralatan”-Menulis
Terkait dengan ”kotak peralatan”-menulis ini, marilah kita meminta bantuan Stephen King. Siapa King? King adalah penulis novel ”thriller” kondang yang sangat produktif. Beberapa novelnya telah dilayarlebarkan. Salah satu yang terkenal (dan mencekam) adalah film Green Mile yang pemeran-utamanya Tom Hanks. Pada tahun 2000, King menerbitkan karya nonfiksi satu-satunya, On Writing: A Memoir of the Craft. Karya nonfiksi King ini telah mendapatkan banyak pujian, antara lain mendapatkan penghargaan berupa ”Bram Stoker Award 2000”, ”Horror Guild 2001”, dan ”Locus Award 2001”. Dalam karyanya ini, King menceritakan secara menarik tentang pengalamannya menulis dan apa itu menulis dalam pandangannya.

Saya menemukan istilah ”kotak perkakas”-menulis di buku On Writing. Secara sangat impresif, King mengisahkan ihwal ”kotak perkakas”-menulis mulai di halaman 145. Ketika itu, King berusia sembilan tahun. Dia punya paman bernama Oren. Paman Oren berprofesi sebagai tukang kayu. Pada suatu hari, rumah yang ditempati King pintunya rusak. Paman Oren pun diminta untuk membetulkan pintu yang rusak tersebut. King melihat Paman Oren membawa ”kotak perkakas” (tool box) yang beratnya dapat mencapai 60 kilogram. Ternyata, Paman Oren hanya mengambil satu jenis obeng untuk membetulkan pintu tersebut. King merasa heran. Mengapa hanya perlu satu obeng kok Paman Oren harus membawa-bawa ”kotak perkakas” yang sangat berat.
”Ya; tapi Stevie,” kata Paman Oren melihat keheranan King, ”aku tidak tahu apa lagi yang akan kutemukan begitu aku sampai di sini. Yang paling tepat adalah aku membawa semua peralatan itu. Jika tidak, kau biasanya akan menemukan sesuatu yang tidak kauharapkan dan jadi kecewa.” Dari pengalaman pada masa kecilnya itu, King kemudian menulis: ”Aku ingin menyarankan bahwa untuk menghasilkan tulisan terbaik—sesuai dengan kemampuanmu—kau harus menyediakan kotak perkakasmu sendiri dan kemudian mengerahkan seluruh tenagamu agar kau bisa mengangkat kotak perkakas itu. Selanjutnya, bukannya melihat betapa sulitnya pekerjaan yang harus kau lakukan dan menjadi tidak bersemangat, sebaiknya kau segera mengambil peralatan yang tepat dan langsung mulai bekerja.”

Salah satu peralatan penting menulis yang harus ada di ”kotak perkakas”-menulis, menurut King, adalah kosakata. Saya menamakannya dengan kekayaan bahasa. Seorang penulis mungkin sudah memiliki banyak teknik menulis. Hanya teknik-teknik menulis itu tidak akan bermanfaat—misalnya untuk mengatasi problem teknis menulis—jika dia tak memiliki kekayaan bahasa. Menulis adalah mengeluarkan sesuatu dari dalam diri—baik itu berupa pengalaman, pengetahuan, atau gagasan—dengan bantuan kata-kata. Jika seorang penulis miskin bahasa atau kata-kata, dia akan kesulitan mengeluarkan dan merumuskan gagasannya. Bagaimana agar kita kaya kata-kata? Kuncinya adalah dengan rajin membaca teks-teks yang ”bergizi”.

Selain kosakata, saya mengusulkan dua peralatan lagi yang harus tersedia di ”kotak perkakas”: mengikat makna dan pemetaan pikiran (mind mapping). Mengikat makna adalah sebuah konsep yang saya temukan untuk membuat kegiatan membaca seseorang menjadi efektif dan kegiatan menulisnya pun akan menjadi mudah dan lancar. Inti konsep mengikat makna adalah ”membaca memerlukan menulis dan menulis memerlukan membaca”. Sementara itu, pemetaan pikiran adalah sebuah cara untuk mengembangkan ide dan menemukan ide yang tidak biasa. Pemetaan pikiran, yang ditemukan oleh Tony Buzan, kemudian dikembangkan oleh Dr. Gabriele L. Rico menjadi teknik ”clustering”. Teknik ”clustering” ini sangat berguna untuk menjalankan kegiatan menulis yang alamiah.

Teknik Menulis Bebas
Kata-kata Rhenald Kasali yang saya kutip di paling awal tulisan ini, saya peroleh dari artikel-menariknya di Kompas edisi Selasa, 20 April 2010. Judul artikel itu ”Orang Pintar Plagiat”. Bagaimana agar kita dapat menuliskan sesuatu yang ”original” yang berasal dari pikiran kita sendiri? Gunakanlah teknik menulis bebas (free writing) ketika Anda sedang berlatih menulis atau menjalankan kegiatan awal menulis. Ada tiga tokoh yang saya rujuk terkait dengan teknik menulis bebas. Pertama, Natalie Goldberg. Natalie adalah instruktur menulis bebas yang sangat terkenal di Amerika Serikat. Kedua, Peter Elbow. Elbow adalah profesor bahasa dan Direktur Program Menulis di Universitas Massachusetts, Amherst, Amerika Serikat. Dan ketiga, Dr. James W. Pennebaker, seorang psikolog peneliti yang meneliti tentang kegiatan menulis yang dapat menyembuhkan.

Sebagaimana telah saya tunjukkan di bagian sebelum ini, Natalie menulis buku berjudul Writing Down the Bones: Freeing the Writer Within (1986). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2005 dengan judul Alirkan Jati Dirimu: Esai-Esai Ringan untuk Meruntuhkan Tembok-Kemalasan Menulis. Natalie, dalam bukunya, memang tak hanya mengajarkan kepada kita bagaimana menulis bebas. Dia meminta kepada siapa saja yang menggunakan tekniknya untuk kemudian menemukan jati dirinya selama menulis bebas. Bagi saya, mengalirkan jati diri identik dengan mengalirkan sesuatu yang “original” yang berasal dari diri kita.

Berbeda dengan Natalie, Elbow lebih menekankan bagaimana seorang penulis dapat meraih kenyamanan terlebih dahulu ketika ingin memulai kegiatan menulis. Kenyamanan menulis sangat penting untuk diraih di awal sebelum seorang penulis berhasil mengeluarkan ide-ide hebatnya. Dalam bukunya, Writing without Teachers (terbit pertama kali pada 1973 dan kemudian direvisi pada 1998)—edisi revisi karya Elbow sudah diterjemahkan pula dengan judul Merdeka dalam Menulis (2007)—Elbow menginginkan agar seseorang, ketika mengawali menulis, bagaikan sedang menyampaikan sesuatu secara lisan (berbicara). Teknik menulis bebasnya ini ingin mengajak setiap penulis untuk tidak buru-buru mengoreksi apa yang sudah berhasil dikeluarkannya secara tertulis.

Nah, lewat risetnya, Dr. Pennebaker menemukan bahwa kegiatan menulis yang sangat bebas (”opening up” atau blak-blakan) dapat membantu seseorang untuk mengatasi tekanan hebat (depresi). Riset Dr. Pennebaker kemudian dibukukan pada tahun 1990. Saya pernah mmepraktikkan saran Dr. Pennebaker ini untuk “membuang”—dengan memanfaatkan kegiatan menulis—seluruh materi yang menggangu pikiran saya. Materi atau “sampah” pikiran itu saya keluarkan secara mencicil dan setiap kali selesai (karena lelah), saya berhenti dan tidak membaca materi tersebut. Saya biasa mengendapkannya sehari. Materi “sampah” itu saya baca dengan cara menyeleksi (bukan mengoreksi). Saya membuang yang tidak perlu dan kemudian mengumpulkan materi—di antara tumpukan materi “sampah”—yang benar-benar sangat penting dan berharga bagi diri saya.

Efek yang saya rasakan dalam menjalankan kegiatan menulis dengan teknik “opening up” ini luar biasa! Pada tahun 2001 hingga 2005, ketika usia saya melewati angka 44, saya dapat membuat buku sebanyak 24 judul. Jika dipukul rata, setiap dua bulan sekali, lahirlah satu buku karya saya. Bukan hasil yang banyak dan cepat itu yang ingin saya banggakan di sini. Lewat pemanfaatan teknik ”opening up”, saya dapat membebaskan diri saya dari segala “penjara” aturan menulis—ketika saya ingin memulai menulis. Aturan menulis tentu baik-baik saja dan dapat memandu kita untuk menghasilkan tulisan yang baik. Hanya jika aturan menulis itu kemudian berubah menjadi kerangkeng—menjadikan kita ragu-ragu dalam mengeluarkan pikiran kita—tentulah itu dapat membuat diri kita impoten (tidak mampu) menulis.

source : here

Kutemukan Cara Mencintai Tuhan

Kutemukan Cara Mencintai Tuhan

Saat mentari lelah dan kembali ke peraduan
orang-orang keluar dari tempat persembunyiannya
Menghilang dari kebahagiaan dunia
dan mencari kebahagiaan lain bersamaNya
Melupakan kesedihan sementara
dan mulai menghapusnya dengan rentetan do’a
Kudengar kicauan burung berhenti
kudengar anak-anak berlari
tertawa dan bermain dengan sarung bermotif
berisik, namun menenangkan hati
Indahnya karunia Tuhan
Aku bernafas karena nikmatNya
Aku jatuh cinta atas ijinNya
Bilamana aku mati esok hari
ijinkan
ijinkan aku tidur dalam dekapanNya
Bilamana aku mati esok hari
katakan
katakan pada hujan
aku tidak akan merindukannya