2.29.2012

.........



Sisa waktupun belumlah cukup untuk mengucap kata salam
Pada atap-atap, pada genting yang melindungi dari panas dan hujan
Pada setiap debu yang kusapu, tetesan air yang kusiram
Dan pada setiap kenangan yang melekat pada coretan-coretan di dinding

Tahun, bukanlah kata dan waktu yang sebentar
Ribuan memory tertinggal
Tahun, bukan waktu yang lama untuk melihatku tumbuh semakin besar

Titip salam, untuk atap dan lantai
Sampaikan, aku ingin melihatnya dewasa
Anak yang baru belajar jalan



Septi,
Bandung, Februari 2012

Jarak


Jarak itu bukan untuk dihitung
Bukan untuk dicaci
Bukan untuk disesali

Jarak itu seperti batas yang harus dilewati
Sungai yang harus disebrangi

Belajarlah dari jarak
Jarak bukanlah kata yang membuat kita berhenti
Ibarat cinta,
patut dijangkau dan diperjuangkan

Septi, 
Bandung, Februari 2012


2.23.2012

Senja Bawa Aku Pulang



Kutemukan senja terlantar dipersimpangan jalan.
Warnanya orange, kuning keemasan dan biru mulai memudar. 
Berlari, berlari, 
andaikata aku mampu mengejar senja yang hendak pergi
aku rengkuh tak dilepaskan lagi
Tawanya masih hidup diperapian senja yang hampir mati
Mengajakku bercerita, 
tertawa dan berangan tentang surga, 
meninggalkan segala rasa sakit yang tak aku pesan sendiri. 
Segera, 
sebentar lagi senja hilang dimakan malam yang kelam. 
Menyinari bola mata yang sendu, 
tak lekas aku menyingkap tangan, 
malah memandang senja yang terus menelusup dalamnya panca indera.  
Tak kerasan kupandangi senja yang menghilang.
Lalu senja, membawa aku... 
pulang


Musa (1)


Aku
Aku ini anak laki-laki biasa. Bila teman-teman seumuranku suka bermain bola, aku juga sama. Mereka punya orang tua, aku juga. Kalau dilihat-lihat, wajahku tidak jelek-jelek amat. Malahan hidungku lebih mancung daripada mereka.  

Orang-orang mengenalku dengan nama Musa. Mungkin kependekkan dari Muhammad Safaruddin, nama bubur merah bubur putihku. Entah siapa yang memulai memanggilku begitu, biarlah aku senang dengan nama itu. Aku telah duduk di bangku sekolah menengah, sebelum akhirnya ayah dan ibu mengirimku ke tempat yang paling aku benci, rumah sakit. Rasanya jari-jari tangan dan kakiku sudah kelimpungan menghitung banyaknya aku keluar masuk tempat itu.

Dengan segala keterbatasan yang aku miliki, syukurlah aku masih memiliki orang tua, sahabat dan Tuhan yang terus menyemangatiku untuk tak berhenti mengenyam pendidikan formal dan mencicipi indahnya dunia luar, yang kadang juga menyayat hati.

Pa Muhtar guru Bahasa Indonesia di Sekolah Dasarku dulu, pernah membacakan tugas mengarangku di depan kelas. Beliau menilai karanganku itu cukup bagus dan termasuk dalam sepuluh karangan terbaik disekolah. Aku sangat bahagia. Bagaimana tidak, beliau langsung membebaskanku dari ulangan minggu depan. Tetapi diwaktu yang sama, aku juga merasa sedih. Bahkan sangat sedih. Teman-teman sekelasku tertawa terpingkal saat Pa Muhtar membacakan judul tulisan buatanku. “Aku ingin seperti Maradonna”
“Hah.. ? ga salah mus..? hahaha” Deny teman sekelas yang paling sering mengejekku, tertawa sangat keras. Biarlah! setidaknya aku pernah dianggap kalau aku ini ada.
“heh, heh.. sudah sudah! Deny jangan tertawa kamu, karanganmu saja tidak sebagus Musa.” Begitulah Pa Muhtar, pembela kaum yang lemah.

****

Hari demi hari aku dapat lalui, dari sebuah tempat yang bernama sekolah. Hingga akhirnya aku mulai terbiasa dengan bulian teman-teman. Ejekkan mereka aku anggap hanya lelucon biasa. Walaupun tetap saja, sewaktu-waktu hatiku bisa terasa seperti diiris. Terkadang aku juga harus mencuri-curi waktu untuk menangis, saat keadaan sekolah sudah sepi. Bangku panjang di samping kelaslah yang menjadi saksi bisu suara hatiku, hampir setiap hari sembari menunggu ayah menjemputku. Ya, aku tak mampu pulang sendiri atau berjalan beriringan dengan teman, padahal sesungguhnya aku mau. Aku ingin.

Apa yang menjadi milikku tidaklah seindah milik orang lain. Nasib dan takdir yang Tuhan gariskan untukku juga tak seberuntung yang Tuhan gariskan untuk orang lain. Tapi sama sekali aku tak pernah menyinyir makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini.

Walau dalam keadaan begini, aku masih selalu  merasa ada sentuhan keadilan Tuhan.  Tidak semua teman mencela dan memandang rendah diriku. Diselatan Kota Bandung, disebuah perkampungan kecil tempat dimana aku tinggal, aku juga memiliki beberapa sahabat yang memperlakukan diriku sama dengan mereka. Mereka yang mengenalku sejak dulu. Mereka yang menerima segala keterbatasanku. Mereka yang membantuku agar tidak membenci Tuhan. Dan hanya ada satu tempat, disamping merekalah aku tak mengenal kata ‘berbeda’.

2.21.2012

Kiat-Kiat Menulis yang Menjadikan Seseorang Dapat Menulis dengan Rasa Percaya Diri yang Sangat Tinggi


Oleh Hernowo
Menulis bisa sangat mudah dan bisa sangat sulit. Menulis—menulis apa pun—menjadi sangat mudah apabila seseorang, yang berniat menuliskan sesuatu itu, mengawali kegiatan menulisnya dengan cara menulis yang ditujukan kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Namun, menulis dapat tiba-tiba berubah menjadi monster yang sangat menakutkan alias sulit sekali dilakukan apabila, sebelum mengawali menulis, seseorang sudah memikirkan terlebih dahulu hal-hal yang berada di luar kendalinya—misalnya, bagaimana menemukan judul yang ”menggigit”, membuat pembuka yang menarik, atau memiliki argumentasi yang meyakinkan dan sangat kokoh.

Membuat judul yang baik, membuka tulisan dengan sesuatu yang menarik perhatian, atau memiliki referensi yang kokoh adalah penting. Namun, semua itu dapat dipikirkan dan ditemukan bukan di awal kegiatan menulis. Sebaiknya, itu dipikirkan setelah dia selesai mengeluarklan (menuliskan) bahan-bahan mentah yang ingin dijadikan sebuah tulisan—apakah itu berupa karya ilmiah, artikel opini, atau sebuah buku. Tak sedikit orang yang telah memiliki bahan yang baik dan juga potensi menulis yang lumayan, ujung-ujungnya, setelah kepayahan menulis, menjadi berhenti total menulis gara-gara tidak langsung dapat menuliskan (menemukan) sesuatu yang membuat dirinya percaya diri.

Dalam tulisan ini, saya ingin menunjukkan kepada Anda beberapa hal penting terkait dengan kegiatan menulis (menulis apa pun) dan bagaimana menghasilkan tulisan yang membuat diri sangat percaya diri. Saya berharap, gagasan saya ini dapat membantu Anda untuk menjadi mudah dalam menjalani kegiatan menulis dan, pada akhirnya, Anda juga dapat menghasilkan tulisan yang benar-benar dapat mencerminkan diri Anda. Materi tulisan ini, terutama, memang, saya tujukan untuk membuat diri Anda dapat menulis dengan penuh percaya diri. Tak berhenti di situ, saya berharap juga, nantinya, materi ini dapat membantu Anda dalam memanfaatkan kegiatan menulis untuk pengembangan diri.

Ada tiga materi yang akan saya sampaikan: Pertama, materi yang berkaitan dengan ”writer’s block” atau kebuntuan yang sering dialami oleh seorang penulis, baik penulis pemula maupun profesional; kedua, tentang ”kotak peralatan” (tool box)-menulis yang dapat Anda miliki dan manfaatkan untuk mengatasi kebuntuan atau kemacetan menulis yang tiba-tiba; dan ketiga tentang teknik menulis yang digagas dan dikembangkan oleh Natalie Goldberg (dalam bukunya Writing Down the Bones: Freeing the Writer Within), Peter Elbow (Writing without Teachers), dan James W. Pennebaker (Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions).

Tentang ”Writer’s Block”
Tentu, kita semua—yang pernah merasakan bagaimana repotnya menulis—memahami bahwa ada banyak sekali faktor yang membuat seseorang mengalami kemacetan atau kebuntuan menulis. Bagi saya, faktor-faktor itu dapat dikategorikan menjadi dua: teknis dan nonteknis. Problem-problem menulis yang bersifat teknis biasanya dapat dipecahkan dengan teknik-teknik menulis. Beberapa contoh: Jika seseorang tidak berhasil menemukan judul yang baik, dia dapat mendaftar pelbagai kombinasi kata yang memberikan arti baru dan berbeda terkait dengan materi inti atau gagasan yang ditulisnya. Lantas, jika seseorang tidak dapat menuliskan apa pun (blank) di layar komputernya—ketika ingin mengawali menulis—dia dapat, misalnya, menggunakan teknik ”free writing” (menulis bebas).

Berbeda dengan problem-problem teknis, problem nonteknis lebih rumit untuk dipahami dan diatasi karena sifatnya yang, kadang, tidak jelas (tidak mudah dipahami). Sebagai contoh sederhana, terkait dengan problem nonteknis, adalah: Bagaimana kita dapat merasa nyaman dan percaya diri ketika menuliskan sesuatu? Bagaimana pula kita dapat menemukan gagasan yang dahsyat? Dan bagaimana agar, selama menuliskan materi, kita dapat menjadikan gagasan awal itu berkembang sedikit demi sedikit dan akhirnya mencapai puncak? Contoh lain adalah terkait dengan bagaimana kita membangkitkan gairah dan semangat untuk mencicil menulis. Menulis tidak dapat sekali jadi. Jika menulis dipaksakan dan harus segera jadi, yang muncul adalah siksaan dan rasa frustrasi. Nah, bagaimana mengatasi pelbagai problem nonteknis menulis ini merupakan sesuatu yang sangat berbeda dengan yang bersifat teknis.

Berikut adalah daftar sebagian kecil ”writer’s block” yang terkait dengan problem nonteknis menulis:
1. Ketakutan mengeluarkan sesuatu yang “original” secara sangat bebas
2. Kebingungan menentukan materi yang ingin dikeluarkan
3. Ketidakpercayaan diri atas apa yang akan, sedang, dan telah dikeluarkan
4. Kemacetan dalam mengeluarkan sesuatu yang tidak dapat dipahami
5. Ketiadaan kreativitas—blank, buntu, gelap—yang memberikan tekanan

Di bawah ini adalah cara mengatasinya:
1. Tulis, tulis, tulis apa saja
2. Tidak ada yang sempurna di awal
3. Pembiasaan menulis secara kontinu dan konsisten
4. “Buang” saja yang membuat macet (Elbow dan Pennebaker)
5. Ubah perspektif dalam memandang sesuatu

Dapat merumuskan dan kemudian memahami ”writer’s block”—tanpa harus segera memecahkannya—sesungguhnya sudah sangat menguntungkan bagi seorang penulis. Setidaknya, dia dapat tidak memaksakan diri untuk terus menulis. Dia kemudian sadar bahwa menulis memang tidak bisa sekali jadi. Menulis perlu dicicil dan dikembangkan secara perlahan-lahan dan hati-hati. Terburu-buru atau tergesa-gesa menyelesaikan sebuah tulisan akan menghalanginya untuk menghasilkan tulisan yang baik—tulisan yang dapat membuat dirinya sangat percaya diri.

”Kotak Peralatan”-Menulis
Terkait dengan ”kotak peralatan”-menulis ini, marilah kita meminta bantuan Stephen King. Siapa King? King adalah penulis novel ”thriller” kondang yang sangat produktif. Beberapa novelnya telah dilayarlebarkan. Salah satu yang terkenal (dan mencekam) adalah film Green Mile yang pemeran-utamanya Tom Hanks. Pada tahun 2000, King menerbitkan karya nonfiksi satu-satunya, On Writing: A Memoir of the Craft. Karya nonfiksi King ini telah mendapatkan banyak pujian, antara lain mendapatkan penghargaan berupa ”Bram Stoker Award 2000”, ”Horror Guild 2001”, dan ”Locus Award 2001”. Dalam karyanya ini, King menceritakan secara menarik tentang pengalamannya menulis dan apa itu menulis dalam pandangannya.

Saya menemukan istilah ”kotak perkakas”-menulis di buku On Writing. Secara sangat impresif, King mengisahkan ihwal ”kotak perkakas”-menulis mulai di halaman 145. Ketika itu, King berusia sembilan tahun. Dia punya paman bernama Oren. Paman Oren berprofesi sebagai tukang kayu. Pada suatu hari, rumah yang ditempati King pintunya rusak. Paman Oren pun diminta untuk membetulkan pintu yang rusak tersebut. King melihat Paman Oren membawa ”kotak perkakas” (tool box) yang beratnya dapat mencapai 60 kilogram. Ternyata, Paman Oren hanya mengambil satu jenis obeng untuk membetulkan pintu tersebut. King merasa heran. Mengapa hanya perlu satu obeng kok Paman Oren harus membawa-bawa ”kotak perkakas” yang sangat berat.
”Ya; tapi Stevie,” kata Paman Oren melihat keheranan King, ”aku tidak tahu apa lagi yang akan kutemukan begitu aku sampai di sini. Yang paling tepat adalah aku membawa semua peralatan itu. Jika tidak, kau biasanya akan menemukan sesuatu yang tidak kauharapkan dan jadi kecewa.” Dari pengalaman pada masa kecilnya itu, King kemudian menulis: ”Aku ingin menyarankan bahwa untuk menghasilkan tulisan terbaik—sesuai dengan kemampuanmu—kau harus menyediakan kotak perkakasmu sendiri dan kemudian mengerahkan seluruh tenagamu agar kau bisa mengangkat kotak perkakas itu. Selanjutnya, bukannya melihat betapa sulitnya pekerjaan yang harus kau lakukan dan menjadi tidak bersemangat, sebaiknya kau segera mengambil peralatan yang tepat dan langsung mulai bekerja.”

Salah satu peralatan penting menulis yang harus ada di ”kotak perkakas”-menulis, menurut King, adalah kosakata. Saya menamakannya dengan kekayaan bahasa. Seorang penulis mungkin sudah memiliki banyak teknik menulis. Hanya teknik-teknik menulis itu tidak akan bermanfaat—misalnya untuk mengatasi problem teknis menulis—jika dia tak memiliki kekayaan bahasa. Menulis adalah mengeluarkan sesuatu dari dalam diri—baik itu berupa pengalaman, pengetahuan, atau gagasan—dengan bantuan kata-kata. Jika seorang penulis miskin bahasa atau kata-kata, dia akan kesulitan mengeluarkan dan merumuskan gagasannya. Bagaimana agar kita kaya kata-kata? Kuncinya adalah dengan rajin membaca teks-teks yang ”bergizi”.

Selain kosakata, saya mengusulkan dua peralatan lagi yang harus tersedia di ”kotak perkakas”: mengikat makna dan pemetaan pikiran (mind mapping). Mengikat makna adalah sebuah konsep yang saya temukan untuk membuat kegiatan membaca seseorang menjadi efektif dan kegiatan menulisnya pun akan menjadi mudah dan lancar. Inti konsep mengikat makna adalah ”membaca memerlukan menulis dan menulis memerlukan membaca”. Sementara itu, pemetaan pikiran adalah sebuah cara untuk mengembangkan ide dan menemukan ide yang tidak biasa. Pemetaan pikiran, yang ditemukan oleh Tony Buzan, kemudian dikembangkan oleh Dr. Gabriele L. Rico menjadi teknik ”clustering”. Teknik ”clustering” ini sangat berguna untuk menjalankan kegiatan menulis yang alamiah.

Teknik Menulis Bebas
Kata-kata Rhenald Kasali yang saya kutip di paling awal tulisan ini, saya peroleh dari artikel-menariknya di Kompas edisi Selasa, 20 April 2010. Judul artikel itu ”Orang Pintar Plagiat”. Bagaimana agar kita dapat menuliskan sesuatu yang ”original” yang berasal dari pikiran kita sendiri? Gunakanlah teknik menulis bebas (free writing) ketika Anda sedang berlatih menulis atau menjalankan kegiatan awal menulis. Ada tiga tokoh yang saya rujuk terkait dengan teknik menulis bebas. Pertama, Natalie Goldberg. Natalie adalah instruktur menulis bebas yang sangat terkenal di Amerika Serikat. Kedua, Peter Elbow. Elbow adalah profesor bahasa dan Direktur Program Menulis di Universitas Massachusetts, Amherst, Amerika Serikat. Dan ketiga, Dr. James W. Pennebaker, seorang psikolog peneliti yang meneliti tentang kegiatan menulis yang dapat menyembuhkan.

Sebagaimana telah saya tunjukkan di bagian sebelum ini, Natalie menulis buku berjudul Writing Down the Bones: Freeing the Writer Within (1986). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2005 dengan judul Alirkan Jati Dirimu: Esai-Esai Ringan untuk Meruntuhkan Tembok-Kemalasan Menulis. Natalie, dalam bukunya, memang tak hanya mengajarkan kepada kita bagaimana menulis bebas. Dia meminta kepada siapa saja yang menggunakan tekniknya untuk kemudian menemukan jati dirinya selama menulis bebas. Bagi saya, mengalirkan jati diri identik dengan mengalirkan sesuatu yang “original” yang berasal dari diri kita.

Berbeda dengan Natalie, Elbow lebih menekankan bagaimana seorang penulis dapat meraih kenyamanan terlebih dahulu ketika ingin memulai kegiatan menulis. Kenyamanan menulis sangat penting untuk diraih di awal sebelum seorang penulis berhasil mengeluarkan ide-ide hebatnya. Dalam bukunya, Writing without Teachers (terbit pertama kali pada 1973 dan kemudian direvisi pada 1998)—edisi revisi karya Elbow sudah diterjemahkan pula dengan judul Merdeka dalam Menulis (2007)—Elbow menginginkan agar seseorang, ketika mengawali menulis, bagaikan sedang menyampaikan sesuatu secara lisan (berbicara). Teknik menulis bebasnya ini ingin mengajak setiap penulis untuk tidak buru-buru mengoreksi apa yang sudah berhasil dikeluarkannya secara tertulis.

Nah, lewat risetnya, Dr. Pennebaker menemukan bahwa kegiatan menulis yang sangat bebas (”opening up” atau blak-blakan) dapat membantu seseorang untuk mengatasi tekanan hebat (depresi). Riset Dr. Pennebaker kemudian dibukukan pada tahun 1990. Saya pernah mmepraktikkan saran Dr. Pennebaker ini untuk “membuang”—dengan memanfaatkan kegiatan menulis—seluruh materi yang menggangu pikiran saya. Materi atau “sampah” pikiran itu saya keluarkan secara mencicil dan setiap kali selesai (karena lelah), saya berhenti dan tidak membaca materi tersebut. Saya biasa mengendapkannya sehari. Materi “sampah” itu saya baca dengan cara menyeleksi (bukan mengoreksi). Saya membuang yang tidak perlu dan kemudian mengumpulkan materi—di antara tumpukan materi “sampah”—yang benar-benar sangat penting dan berharga bagi diri saya.

Efek yang saya rasakan dalam menjalankan kegiatan menulis dengan teknik “opening up” ini luar biasa! Pada tahun 2001 hingga 2005, ketika usia saya melewati angka 44, saya dapat membuat buku sebanyak 24 judul. Jika dipukul rata, setiap dua bulan sekali, lahirlah satu buku karya saya. Bukan hasil yang banyak dan cepat itu yang ingin saya banggakan di sini. Lewat pemanfaatan teknik ”opening up”, saya dapat membebaskan diri saya dari segala “penjara” aturan menulis—ketika saya ingin memulai menulis. Aturan menulis tentu baik-baik saja dan dapat memandu kita untuk menghasilkan tulisan yang baik. Hanya jika aturan menulis itu kemudian berubah menjadi kerangkeng—menjadikan kita ragu-ragu dalam mengeluarkan pikiran kita—tentulah itu dapat membuat diri kita impoten (tidak mampu) menulis.

source : here

Kutemukan Cara Mencintai Tuhan

Kutemukan Cara Mencintai Tuhan

Saat mentari lelah dan kembali ke peraduan
orang-orang keluar dari tempat persembunyiannya
Menghilang dari kebahagiaan dunia
dan mencari kebahagiaan lain bersamaNya
Melupakan kesedihan sementara
dan mulai menghapusnya dengan rentetan do’a
Kudengar kicauan burung berhenti
kudengar anak-anak berlari
tertawa dan bermain dengan sarung bermotif
berisik, namun menenangkan hati
Indahnya karunia Tuhan
Aku bernafas karena nikmatNya
Aku jatuh cinta atas ijinNya
Bilamana aku mati esok hari
ijinkan
ijinkan aku tidur dalam dekapanNya
Bilamana aku mati esok hari
katakan
katakan pada hujan
aku tidak akan merindukannya

2.18.2012

Tentang Angin sore


Bagaikan angin menerpa jiwa
dan wajah

Jiwa yang lelah
Jiwa yang tenang
Jiwa yang resah
Jiwa yang gelisah
wajah yang lelap

Sejuk
Sangat sejuk
Sunyi
Sangat sunyi

Oh
Angin sore
jangan pergi


2.11.2012

Aku sangat benci merindukanmu (Part.2)



Merindukanmu seperti meminta bulan jatuh dari langit
Merindukanmu itu ibarat berharap bintang di tengah hari
Saat aku tau memang tidak mungkin,
merindukanmu menjadi air mata yang tak berhenti mengalir

Satu-satunya obat rindu adalah bertemu.
Tapi kau....
Semakin membuat kelu, pahit
Menjadi nafas yang sesak di dada
Oh... lelah rasanya


aku benci merindukanmu

Aku tak berhenti bertanya pada diri sendiri
Sampai kapan aku bisa membendung dan bertahan?
Hening... dan aku tetap membisu
Hanya air mata yang bicara,
Dan berkata bahwa... 
“aku takkan mampu”

Andaikata kau tau
karena harapanku tak terbatas untukmu

Bicaralah!
Maka aku akan bercerita pada langit
Aku menyayangimu,

Jika malam ini kau dongak ke langit
Dan langit nampak kosong
Jangan salahkan aku!

Jangan salahkan aku!
Mungkin
aku sudah berhenti merindukanmu
Asapun telah remuk dimakan waktu
Turun bersama airmata
Berceceran di aspal
Terbang terbawa angin pada setiap helaan nafas
yang semakin, semakin membuat sesak dan sebak
Menjadi serpihan kertas yang lama-kelamaan berubah usang
Kemudian hilang......

Tapi taukah kau?
Bertahan itu lebih pahit dan sakit
Dibanding berusaha mengusir rindu

Walau akan pilu rasanya?
Ya walau pilu rasanya. Biarkanlah aku begitu
Biarlah.. ijinkan aku bernafas tanpa beban
Rindu
Tanpa kata-kata yang sangat berat diluahkan
Aku merindukanku

Oh... aku sangat benci merindukanmu

Bandung, 12 Feb. 2012

Aku benci merindukanmu (Part.1)



Oh...
Aku benci berkata....
"Aku Benci Merindukan mu "

2.10.2012

Single | Danur - Sarasvati


Danur
Derap langkahku terseok

Amar harap elok
Badik sayati relungku
Pijarmu memaku

Secampin kau terilhami

Asa kerap mati
Tegarlah kau disampingku
Cabir tak berliku

Lunglai kita saling menggenggam,
 risau hilang meski mencekam

Cadung jiwa terus berlayar, 
meski kelam selalu berputar

Geletar hati gentar isak tangis pudar

Rinai hujan menebar
Dan intuisi jiwa berakhir nestapa
Kita tetap berdua


2.09.2012

SARASVATI | Story of Peter

Sad eyed boy in his silly pants
Sometimes his there sometimes he hides
Pale fair skin and his tiny hands
Waving from distance in black and white


Nobody sees him when his around
But his beside me whenever im down
Run about and play around my silky dress
Now I could never forget his face


I don't know who you are
And I don't know where your from
Give me your hands
Lets find a light
Leave all this behind
And forget the world


So the silly peter disappear
Now his nowhere to be seen
His not those shades that I fear
And many things remind me of him


DANUR (bukan novel misteri)



Sinopsis...

“ Jangan heran jika mendapatiku sedang berbicara sendirian atau tertawa tanpa seorang pun terlihat bersamaku. Saat itu, mungkin saja aku sedang bersama salah satu dari kelima sahabatku.

Kalian mungkin tak melihatnya.... Wajar. Mereka memang tak kasat mata dan sering disebut... hantu. Ya, mereka adalah hantu, jiwa-jiwa penasaran atas kehidupan yang dianggap mereka tidak adil.

Kelebihanku dapat melihat mereka adalah anugerah sekaligus kutukanku. Kelebihan ini membawaku kedalam persahabatan unik dengan lima anak hantu belanda. Hari-hariku dilewati dengan canda tawa Peter, pertengkaran Hans dan Handrick-dua sahabat yang sering berkelahi-alunan lirih biola William, dan tak lupa: rengekan si Bungsu Jahnsen.

Jauh dari kehidupan “normal” adalah harga yang harus dibayar atas kebahagiaanku bersama mereka. Dan semua itu harus berubah ketika persahabatan kami meminta lebih, yaitu kebersamaan selamanya. Aku tak bisa memberi itu. Aku mulai menyadari bahwa hidupku bukan hanya milikku seorang.... “

*****
Risa Saraswati sekilas tentang “Danur”

Tak mudah melalui fase kehidupan yang cukup rumit dengan usia yang rasanya belum mampu menghadapi serangkaian peristiwa tidak biasa, tak mudah menjalani hidup sebagai anak-anak normal jika semua yang kuanggap normal ternyata hal-hal tidak normal. 

Kuanggap tembok adalah benda hidup, sama seperti kalian.. teman-teman yang bisa kuajak berinteraksi untuk mendiskusikan apapun yang kuanggap penting. Kuanggap pohon adalah makhluk bergerak yang setiap saat bisa saja kumintai bantuan, yang setiap saat ikut bergerak saat kumelangkah, dan setiap saat melihat apa yang akan kulakukan..mencermati isi kepalaku.

Tubuhku begitu kecil saat kutahu kelima sahabatku ternyata onggokan belulang manusia tanpa kepala yang jelas jauh berbeda denganku yang masih bisa berdiri tegap, melangkah bebas, menapaki tanah, dan nyata untuk diraba. Bukan takut yang menyergap, perasaan iba muncul ke permukaan melebihi apapun yang pernah kurasakan terhadap makhluk-makhluk sepertiku.

Aku masih belia ketika akhirnya kelimanya pergi meninggalkanku sendiri ditengah bau Danur yang semakin mengusik hari-hariku. Kalian tahu apa itu Danur? Danur adalah air yang muncul dari jasad mahkluk hidup yang telah mati dan membusuk. Kututup penciumanku, kututup mataku, kututup hatiku untuk Danur-Danur baru yang muncul sepeninggal mereka.

Berjuang menyeimbangkan langkah agar tetap merasa normal hingga akhirnya kutemukan cara agar semuanya terasa baik-baik saja. Tak selamanya Danur itu menyengat dan membuatku lunglai, kelima sahabatku pergi…namun segala sesuatunya selalu sama, kepergian mereka mendatangkan sahabat-sahabat baru untukku. Pengalaman-pengalaman baru, kisah-kisah baru. Drama… selalu dipenuhi drama.

Telah kubuka gerbang dialog antara aku dan dunia mereka, telah kurangkai kisah-kisah baru. Penciumanku tetap tertutup rapat, namun kini telinga, mata, hati, dan pikiranku terbuka lebar untuk mereka..

Tak selamanya Danur itu menjijikkan…

Karena kini aku bisa mencium banyak wewangian yang muncul karenanya…

Peter, William, Hans, Hendrick, Janshen, Samantha, Jane, Ardiah, Edwin, Teddy, Sarah, Elizabeth, Kasih… adalah beberapa tokoh dari sekian banyak sahabat di proses hidupku hingga kini…
Cerita tentang mereka kurangkum dalam sebuah karya yang kuberi nama, “Danur”.

Diambil dari laman blog Risa Saraswati



2.08.2012

Be on Duty


Awalnya aku takut. Mendapat tawaran bekerja adalah hal mengejutkan. Dan aku tidak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya harus bergabung dengan orang-orang dewasa yg penuh komitmen. Honestly, in the first time i felt so sad. Bukankah seharusnya aku masih duduk dibangku kuliah bersama teman-teman yang seumuran?

Saat dimana teman yang lain berlomba, saling mengeluhkan tugas yang menumpuk, dosen yang galak, jadwal kuliah yang padat, aku justru ingin seperti mereka. Aku rindu tugas yang seabreg!
Bahkan aku rindu pergi mandi pagi-pagi. Hhh.. sepertinya pikiran mereka, yang paling tersiksa seolah yang terhebat.

Everything happens for a reason.
Anggap saja aku istimewa. Kalau orang lain harus sarjana sebelumnya, artinya aku bangga bisa menduduki kursi yang seharusnya menjadi jatah mereka.
And i knew why i had to do this.
08 Feb. 12: I came out with my mother’s pray. In front of the lake, I was standing alone and i began to come in.

Lucu, tegang dan senang. Akupun pasrah saat berhadapan dengan Ms.Excel...haha.
Aku tidak ingin menolak apa yang sudah Tuhan turunkan. Aku merasa Tuhan yang juga mempermudah segalanya. Dan Ibu Yana, tiba-tiba aku teringat beliau. Aku merasa beliau sangat excited sejak aku datang.

Actually, i’m not hear the words yet.... but i still believe, because of they asked me to come there tomorrow, at the same time. And i don’t know, i felt that time was the happier moment in my life.
Kalaupun tidak, Tuhan tau yang terbaik bagi umatnya. Dan kalau ‘iya’ so i will dooo!!

Buatku tidak ada kata terlalu muda untuk memulai. Jika ada yang mengatakan belum saatnya, aku tidak peduli, aku tidak akan peduli!

Kalau IYA, artinya aku akan jadi orang sibuk mulai besok sampai... selama Tuhan mengijinkan.
It means.. i have to leave my course place. The place which has helped me to be able in speaking Eng. A place that has brought me to the special friends. Special teacher.
Hilda, Nina, Syifa, Annisa, Dwi, Erna, Vina. They all more than just friends!!

Aku tidak tau, apakah nanti ada tempatku berkelu kesah lagi? Or i have to face them alone?.
Atau cerita yang didengar, tertawa kera-keras. Kemana kalian.. ga pernah masuk akhir2 ini??
Tapi yang pasti aku tidak akan menemukan pundak untuk kupeluk lagi. Pipi yang bisa aku cubit, mencela satu satu sama lain atau dipanggil ‘ceu eti’. Oh.. I’m crying anymore.. i hate this..

Mau tidak mau aku harus mampu bersikap dewasa sekarang. Senyum dan tertawa sewajarnya, hormat pada sesama, dan harus membiasakan diri dengan panggilan ‘anda’.


Single Happy



" Lupakan masa lalu,
Hiduplah dimasa sekarang!

Ambil nafas, lepaskan dan ingatkan dirimu
bahwa saat ini merupakan
waktu yang kamu miliki dengan pasti.
PATAH HATI
hanyalah cara Tuhan mempertemukan kita
dengan orang yang tepat. “


2.05.2012

Saat Jadi Perempuan




Meski dalam hati,
tetesan air itu
masih kurasakan hingga kini

Perempuan memang suka menangis

Tapi kau masih menahan
dan tertawa lebar

Sabarlah!

Cinta memang begitu

Dapat menghancurkan harapan

Sekalipun yang sudah sangat besar

Maka..

Janganlah peluk cinta erat-erat

Biar saja ia turun bersama hujan

Di sela-sela jari

Dan pada setiap helai rambut

Suatu saat ia akan berhenti

Pada cinta yang mampu memaknai

Bukan menyakiti

Karena

Aku, kamu dan kalian.. perempuan.



Amour

Cinta itu pedih, terasa seperti kerinduan yang tidak tercapai. 
Dunia meranggas dan mati, orang-orang menghilang, hanya dia yang ada.

Diriku bagaikan terbagi dalam dua kutub: tubuhku terkubur dalam getaran dan kesakitan;
Perasaan dan pikiranku melayang kearah lain.
Manusia yang mencintai keberadaan yang terpisah, yang tidak bisa mereka kendalikan.

Perasaan ini ringan, lalu terkubur ketakutan;
Diriku melayang kemudian tenggelam dalam kegelapan;
Semua bagaikan bernyanyi, kemudian menghilang, menjadi air mata perpisahan yang pahit.

Harapan, harapan, harapan adalah suara detak jantungku.


*Taj

R


Dear, Reza

Entah sudah sebanyak apa kata, kalimat dan surat yang sudah aku tulis untukmu. Beberapa ada yang pernah kau baca, ada pula yang aku sembunyikan sangat dalam diantara tumpukkan buku, dan ada yang didalamnya terselip setangkai mawar merah dan putih pemberianmu yang mungkin sekarang sudah mengering. Tapi aku selalu berharap kau mampu membaca seluruh isi suratku suatu saat, tanpa ada yang terlewat. Aku lebih suka menulis surat untukmu, kenapa? karena aku tau waktu kita tidak pernah banyak. sebetulnya aku juga ingin cerita banyak padamu, tapi lagi2 waktumu tidak banyak. Sibuk, Ya teruskan saja kau begitu, aku tidak ingin mengganggu.

Dan sekarang aku menulis satu lagi surat untukmu. Rasanya tidak pernah bosan aku meluapkan semua perasaanku tentangmu. Meskipun aku tau, hampir semua yang aku tulis untukmu intinya masih itu-itu juga.

Tapi akan sedikit berbeda untuk kali ini. Hampir tiga tahun berlalu denganmu, dan aku bosan menuangkan kejengkelan, kemarahan, kekaguman terhadapmu dan hal lain yang bisa membuatmu galau jika membaca tulisan-tulisanku.
Apapun, apapun yang pernah aku katakan, aku tulis tentangmu, tetap saja bagiku dan semoga kau tetap menjadi yang satu-satunya orang lain yang menjadi bagian dari kisahku disamping teman dan sahabat-sahabatku. 

Harapan. Aku sangat tau, berharap sesuatu pada manusia mungkin bisa menimbulkan kekecewaan. Begitupun harapanku padamu. Tapi semoga saja tidak begitu.

***

Aku mengenalmu mungkin jauh sebelum tiga tahun yang lalu. Sebelum tahun pertama kita saling bertegur sapa. Sampai akhirnya seseorang memberikanku surat pertamamu. Surat yang belum pernah kau tulis, bahkan belum sempat kau baca seluruh isinya. Aku masih bisa mengingat sebut saja sajak atau puisi pada bait terakhir. Surat yang spesial dibuatkan temanmu untukmu dan untukku pada selembar kertas orange.

“ jika ada sepuluh orang yang melihatmu,
maka salah satunya adalah aku.
Jika ada lima orang orang yang menyukaimu ,
maka salah satunya aku.
Dan jika ada seseorang yang sangat mencintai dan menyayangimu,
maka orang itu adalah aku.”

Aku hanya cekikikan saat itu. Sungguh tidak ada perasaan bahagia apalagi berbunga-bunga, Perasaan yang wajib dirasakan pada seorang remaja jatuh cinta. Aku hanya menangkapnya sebagai suatu lelucon yang membuat aku malu saat berpapasan denganmu.


***

Tapi sekarang, semuanya berubah, seolah menjadi terbalik.
Mengapa rasanya ingin menangis jika melihatmu berfoto dengan teman-teman perempuanmu yang tidak aku kenal? Atau saat kau bercengkrama dengan mereka, atau saat dimana kau dan lelucon teman-teman lelakimu yang tanpa sengaja merendahkan kaum ibumu.

Setelah sejak lama, kini aku merasakan lagi rasanya menangis, patah hati, kemudian jatuh cinta lagi, lalu patah hati, menangis dan begitu seterusnya. Tapi selalu, aku masih berharap padamu. Walaupun terkadang lelah menyuruhku berhenti melakukan hal sia-sia. Dan entah berapa kali aku menjerit pada Tuhan agar aku menikmati hidupku hanya untuk diriku sendiri. Menjadi bintang kelas dan anti pada pria-pria yang kerjaannya hanya menangisi. Tapi aku tau kau tidak begitu.

Aku merasa kau mengubahku banyak.
Sekarang, dengan mudah aku dapat membiarkan orang lain menebak jalan pikiranku, dan membiarkan orang lain mengetahui bagaimana perasaanku sebenarnya. Ya, seperti ini contohnya.  Tapi tidak benar rasanya jika aku menyalahkanmu atas perubahan ini. Tentu saja aku yang lebih berperan atas diriku sendiri.

***

Ingin rasanya, kau mengusap kepalaku saat dimana semakin hari aku semakin merasa bodoh. Aku ingin kau menghormati setiap keputusanku yang tidak sesuai dengan kehendakmu, karena bagaimanapun aku tetap menimbang pendapatmu. Dan berhentilah tertawa saat aku tidak tahu siapa Muhammad Ali itu. oya jangan sebut aku pemalas saat memang aku sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun dan jangan perlakukan aku seperti patung. Love is respect dan memang sudah seharusnya begitu.

Kau bukan orang yang romantis. Bukan pula tipe pria perhatian. Terkadang aku iri pada teman yang yang diberikan perhatian lebih oleh pasangannya. Tapi aku menghibur diri dengan meyakini bahwa pria romantis, perhatian dan gombalannya hanyalah mereka pria playboy yang tidak bisa dibandingkan denganmu. Dan benar saja aku lebih beruntung karena kau masih saja bersabar menghadapi keinginan-keinginanku yang kadang tidak masuk akal dan kemarahanku yang tidak beralasan.

Aku dan kau memang berbeda. Dan aku ingin kita tampil apa adanya. Jika banyak perempuan didunia ini yang selalu menuntut pasangannya, aku akan membiarkanmu tampil sebagai diri sendiri. Seburuk apapun itu.. Namun jika ada yang perlu diubah mungkin kita bisa mengubahnya sama-sama.


Entahlah, aku merasa semakin tergantung padamu. Dan tidak seharusnya pula aku begitu. Tapi lagi-lagi aku tidak bisa membayangkan, bagaimana jika aku harus beradaptasi dengan orang baru? Karena aku hanya terbiasa denganmu. Dan hanya ingin denganmu. 

Kita masih muda, jalanpun masih panjang. Dan Tuhan tidak pernah membocorkan pada kita tentang jalan apa yang ditulisnya. 


A girl who really do love you,
Septi 

2.04.2012

Wajahmu Ingatkan Aku




wajahmu ingatkan aku
dengan dia yang telah tiada
tak bermaksud kusamakan
kau dengan dia

aku tak tahu mengapa tuhan
mempertemukan aku denganmu
aku cinta dia
tapi takdir memisahkan


kau datang di waktu yang tepat
kau mengisi sakit jiwaku
walau mungkin kau pun terluka
wajahmu ingatkanku

aku sampai tak bisa bedakan
rasa bahagia dan rasa sedih
sejak aku anggap dia
takkan tergantikan


salahkah aku yang tak berdaya
wajahmu ingatkanku
dengan dia




love is RESPECT




Berjalanlah!
Sebanyak dan sepanjang kau mau
Maka aku akan berlari tanpa menoleh
Apalagi melihat kearahmu.